Skip to main content



Rosy Nursita Anggraini, dapat dipanggil Rosy. Lahir di Blitar 24 Januari 1995. Tinggal di Dusun Cimpling RT 01/01 Desa Siraman Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar. Alumni Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi, Magister Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya tahun 2020. Santri PP Al-Falah Siraman Kesamben Blitar. Anggota FLP Blitar dan Komunitas Muara Baca Blitar. Sebagai Penggiat Budaya tahun 2021 yang berada di bawah naungan Ditjen Kebudayaan Kemdikbudristek. Karya pernah di muat di: Riau Realita, Koran Pantura, Koran Madura, Media Jatim, Harian Bhirawa, Jawa Pos Radar, Dinamika News, Koran Jakarta, Pikiran Rakyat, dan penulis beberapa buku antologi puisi maupun cerpen bersama. Dapat di hubungi melalui fb Rosy Nursita A, IG rosy_nursita, serta nomor HP/WA/Telegram 082334724195.



 

Comments

Popular posts from this blog

Semesta Tak Berhianat

                 "Hidup seperti air di sungai. Harus tetap mengalir agar menuju laut."                “Tapi, An!” Bela tidak terima. “Tidak boleh ada yang menolak. Banyak hasil penelitian yang menyimpulkan ‘semakin kita tergantung dengan ponsel pintar kita akan semakin lemah, baik kekuatan fisik, psikis, maupun pikiran kita.’ Jadi, saya tekankan semua staf yang ada di perusahaan ini tidak di perkenankan membawa ponsel pintar. Telebih peraturan ini sudah memasuki pekan ketiga dari peraturan tersebut di tetapkan. Saya minta semua mematuhi peraturan tersebut. Bila ada yang melanggar akan di kenakan sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan. Terlebih perusahaan ini sudah memberikan fasilitas kerja yang cukup memadahi. Ok, rapat hari ini cukup. Silahkan meninggalkan ruang rapat.” Tinggal Ana dan Bela yang masih tersisah di ruang rapat. Ana masih berdiri kokoh di tempatnya sedangkan Bela masih duduk di tempatnya. Kesal. Belum dapat menerima keputusan. Ana bernapas panjang, set

Senja dan Serang

  “Dasar pelacur!!!” Dengan nada tinggi kata-kata itu terlontar tepat di depan wajahku. Tamparan dari tangan besinya berhasil kuhentikan. Kulalui meja di depanku. Dengan cepat kukunci gerakannya, memutar tangan kanannya ke belakang, dan mendekatkan dengan punggungnya. Sebagian besar pengunjung kafe memandangi aku dan Vega. Aku tahu itu. Kudekatkan tubuhku dengan punggungnya. Kudekatkan mulutku ke telinganya sembari berkata lirih nan tegas “Membuatmu terkapar dalam sekali depak sangatlah mudah bagiku. Tapi tidak untuk saat ini. Camkan itu! Aku mau…detik ini juga…kita putus!” Sudah jauh-jauh hari aku ingin melontarkan kata-kata itu. Raut muka Vega seolah berkata ‘ lepaskan!’ terlihat sangat jelas. Kudorong tubuhnya. Segera kumelangkah cepat meninggalkan dia. Menuruni anak tangga kafe sembari melihat jam tangan. Pukul 10 tepat. Perjalanan ke rumah perlu waktu 30 menit. Cukup malam untuk gadis pulang ke rumah sendirian. Terdengar suara orang juga menuruni anak tangga. Aku menolehka