Skip to main content

Senja dan Serang

 

Senja dan Serang


“Dasar pelacur!!!”

Dengan nada tinggi kata-kata itu terlontar tepat di depan wajahku. Tamparan dari tangan besinya berhasil kuhentikan. Kulalui meja di depanku. Dengan cepat kukunci gerakannya, memutar tangan kanannya ke belakang, dan mendekatkan dengan punggungnya. Sebagian besar pengunjung kafe memandangi aku dan Vega. Aku tahu itu. Kudekatkan tubuhku dengan punggungnya. Kudekatkan mulutku ke telinganya sembari berkata lirih nan tegas

“Membuatmu terkapar dalam sekali depak sangatlah mudah bagiku. Tapi tidak untuk saat ini. Camkan itu! Aku mau…detik ini juga…kita putus!” Sudah jauh-jauh hari aku ingin melontarkan kata-kata itu.

Raut muka Vega seolah berkata ‘lepaskan!’ terlihat sangat jelas. Kudorong tubuhnya. Segera kumelangkah cepat meninggalkan dia. Menuruni anak tangga kafe sembari melihat jam tangan. Pukul 10 tepat. Perjalanan ke rumah perlu waktu 30 menit. Cukup malam untuk gadis pulang ke rumah sendirian. Terdengar suara orang juga menuruni anak tangga. Aku menolehkan kepala ke belakang. Vega mengejarku. Langkahku ke tempat parkir semakin kupercepat. Secepat kuhapus air mata di pipi. Aku tidak punya riwayat penyakit asma sejak kecil. Tapi akhir-akhir ini mendadak dadaku sesak untuk menarik napas. Napas panaspun keluar bersamaan dengan kuhembuskan karbondioksida dari hidungku. Entah apa yang terjadi dengan tubuhku akhir-akhir ini. Aku kesulitan mendefinisikan. Otakku sering macet mendadak. Padahal sebelum-sebelumnya indeks prestasi kumulatifku selalu cumlaude. Tapi sepertinya tidak untuk semester ini.

“Rika…! Tunggu!” Aku tak menghiraukan teriakan Vega. Aku sudah mengendarai motor. Di pikiranku hanya satu. Cepat pulang. Cepat menenangkan diri. Aku capek. Terlebih hari ini setelah ujian akhir semester langsung mempersiapkan event students entrepreneur di kampusku. Apalagi kampusku adalah satu-satunya kampus terbesar di kotaku dan pionir pengusung entrepreneur university. Pasti banyak banget pengunjungnya. Tamu undangannya dari mana-mana. Butuh persiapan ekstra. Betapa berjubelnya isi pikiranku bila ditambah dengan perkaraku dengan Vega yang tak masuk akal. Dan kejadian malam ini adalah puncak dari rentetan peristiwa sebelum-sebelumnya yang intinya sama. Aku capek. Aku sudah muak dengan hubungan ini. Putus dengan Vega, cowok semacam itu adalah kemerdekaan bagiku. Bodoh amat untuk balikan lagi dengan dia bila permasalahannya sama aja.

***

            Sore itu hujan deras mengguyur kotaku. Rasa malas keluar rumah adalah hal lumrah. Ditambah sahut-sahutan halilintar. Aku lebih memilih di kamar. Mengerjakan tugas-tugas fisikaku yang banyak dan lumayan memeras otak. Hingga dering ponsel aku abaikan.  

            Setelah soal-soal di bab dimensi1 selesai baru aku memegang ponsel. Lima panggilan tak terjawab. Nomor Vega ternyata. Lanjut…aku mengecek kotak masuk. Tiga pesan singkat dari Vega, cowok yang kemarin aku tolak dengan alasan aku ingin fokus sekolah dulu. Aku sadar ini tahap sekolah pamungkas. Setelah ini aku tidak sekolah. Melainkan kuliah. Sudah beda jenjang. Beda urusan. Dan masih banyak hal-hal yang membedakan antara sekolah dan kuliah. Dia memaklumi.

            “Kalau gitu kita teman dekat aja gimana?” Pintanya tanpa basa-basi.

            “Baiklah…selama kedekatan aku dan kamu tidak mengganggu sekolahku.” Panggilan aku putuskan. Fokus belajar ke mata pelajaran berikutnya.

            Entah mengapa dia sering muncul di kala aku mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran fisika. Hingga aku mengerjakan bab relativitas2. Kedekatanku dengan Vega layaknya remaja yang pacaran. Walau tidak ada kesepakatan pacaran dengan dia. Aku juga tidak pernah mendapat kabar miring tentang dia atau memergoki dia dengan cewek lain selama ini. Hingga kita satu kampus. Walau beda fakultas dan jurusan.

            Di kampus, aku memutuskan untuk menjadi aktivis. Aku ingin memperluas jaringan. Ingin ini dan itu. Yang kelak dapatku jadikan bekal ketika menghadapi masa depanku. Hubunganku dengan Vega tetap baik-baik saja. Dan dari sini aku jadi tahu bahwa tidak semua hal harus di ucapkan, termasuk cinta. Kita malah lebih sering telephonan malam hari, setelah mengerjakan tugas. Bahkan sampai pagi. Saking asyiknya. Maklum kita sudah beda aktivitas. Dia memilih kuliah sambil kerja sedangkan aku kuliah dan menjadi aktivis kampus.

            Seiring dengan berjalannya waktu, semakin lama pertanyaan yang di lontakan Vega via telephon kepadaku semakin spesifik. Bahkan dia sampai meminta screen short chattingku dengan kolega-kolegaku. Dia juga meminta nomor mereka yang dapat di hubungi. Berkali-kali dia membuatku terpojok. Bila ada event kampus maupun undangan dari luar kampus bisa seharian tidak tidur gegara menanggapi pertanyaan Vega. Terlebih bila aku terlibat satu tim dengan makhluk berjenis cowok. Entah apa yang merasuki Vega hingga dia mengeluarkan umpatan sedemikian rupa. Tidak hanya sekali atau dua kali air mataku membasahi bantal.

            Aku memandangi layar ponsel yang belum kututup. Masih ada nama Vega lengkap dengan nomornya. ‘Aku manusia, bukan barang. Aku bukan sertifikat yang dapat kamu pres mika kemudian kau simpan dalam almari.’ Ucapku dalam hati. Sesenggukanku belum usai. Aku memutuskan untuk tidur, menurutku itu lebih baik. Sebenarnya aku menyadari kalau dalam situasi seperti itu aku benar-benar dalam posisi tolol. Selalu mau di ajak baikan.

***

            Event students entrepreneur di kampusku telah berakhir Grasel, Tomi, dan Dika mengajakku ke pantai. Reflashing kata mereka. Aku di bonceng Dika. Aku hafal betul jalan yang kulalui menuju pantai apa. Tak apa walau sudah berkali-kali kesana tapi belum pernah kesana dengan mereka bertiga. Aku tak jemu memandangi pemandangan sepanjang jalan menuju pantai. Hijau dedaunan, rumah khas penduduk sekitar, dan udara dingin cukup menyejukkan suasana hati dan pikiranku kala itu.

            Hari senin memang pantai sering sepi. Aku melihat sudah ada satu motor yang terparkir, satu lokasi parkir dengan parkiran kami. Aku berhenti sebentar. Ada tanda tanya di benakku. Namun, tanda tanya itu runtuh oleh suara debur ombak pantai. Aku segera berlari ke arah mereka bertiga yang sudah jauh di depanku. Sembariku berteriak pastinya. Dengan harapan penatku ikut keluar.

            Aku suka menyusuri bibir pantai dari ujung ke ujung. Kali ini aku di temani Grasel. Sembari berjalan kita membicarakan apa saja yang dapat di bicarakan. Mereka bertiga sudah tahu tentang diriku. Mereka memang teman dekat Vega. Apa? Teman dekat? Kerongkonganku tercekat. Seketika tubuhku mematung.

“Hey! Rika…belum basah dia.” Dika menyiratkan air ke tubuhku. Disusul Tomi. Otomatis aku lari. Diikuti Grasel. Sembari berlari, beberapa kali aku menoleh ke belakang melihat keadaan Grasel yang sudah basah kuyup. Selain lempar air, kita juga lempar senyum, ketawa, dan teriakan.

Tiba-tiba punggungku menabrak tubuh orang. Jelas bukan Dika, Tomi, maupun Grasel. Ini juga bukan tempat nelayan menjaring ikan. Aku beranikan membalikkan badan. Menegakkan kepala. Vega. Suara berisik ke tiga temanku lenyap seketika. Aku menelan ludah. Kembali mematungkan tubuh. Mengatur pernapasan. Mencoba tenang. Tapi tidak dengan detak jantungku. Dia tidak mau diajak kompromi. Memang dia organ yang tak pintar diajak sandiwara.

Mata sayu Vega fokus padaku. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Aku memutuskan meninggalkan dia.

“Rika! Berhenti!” Lariku tidak bisa secepat biasanya. Sudah capek main sejak tadi. Baiklah aku memelankan langkah. Dengan cepat Vega bediri di depanku.

“Rika…aku minta maaf jika ada salah ke kamu.” Kalimat yang senantiasa di ulang-ulang Vega. Aku juga sudah hafal ekspresi dia mengucapkan kalimat itu. Dan bila aku memaafkan pasti dia akan mengulangi kebiasaanya lagi. Menginterogasiku hingga pagi. Memaki sampai aku terpojok dan menahan isak yang tidak dia ketahui. Kini aku harus berani ngomong. Mengakhiri ke tololanku!

“Iya…aku maafin kamu kok.” Jawabku seperti biasanya. Kemudian aku lanjutkan perkataan sembari menatap matanya dengan pandang santai.

“Vega…kamu tahukan aku itu manusia. Hidup. Punya perasaan. Punya keinginan dan cita-cita. Sebelumnya aku minta maaf. Aku belum bisa menjadi sang dewi pujaanmu. Yang senantiasa kamu impikan, kamu omongkan ke aku tiap malam menjelang kita tidur. Aku gak bisa. Aku gak bisa jadi cewek yang kalem, diem, nurut sama cowoknya, dan melakukan interaksi yang sangat terbatas. Terlebih kamu seolah menghalangi tiap orang yang akan aku ajak interaksi. Aku bukan tipe cewek tukang selingkuh, Vega.”

Kupandang tegas dua bola matanya

“Aku tahu aku cantik. Tapi sebutan pelacur tak pantas untukku. Aku bukan dewi tolol yang pantas kau hina. Kau tak tahu perasaanku yang selalu kau maki dengan umpatan tak jelas itu. Sakit! Hampir tiap kali kamu mengajakku berselisih paham, aku menangis di balik layar ponsel. Bahkan aku pernah berkali-kali jatuh sakit. Kau menjengukku? Tidak! Tidak sama sekali. Malah teman-temanku yang menjengukku. Hingga yang terakhir IPku gak cumlaude lagi. Cukup Vega. Aku gak mau jadi dewi tololmu lagi. Terimaksih lima tahunnya.”

Kulepas cincin di jari manis tangan kananku. Kuberikan kepada Vega. Diapun melepas miliknya. Dan melempar dua cincin itu ke pantai.

“Rika! Kau…!” Telunjuk tangan Vega mengarah padaku.

“Apa? Pelacur yang sudah menyia-nyiakan waktu lima tahunmu?” Kuhadiahi senyum kecut padanya.

Aku membalikkan badan. Berlari. Sepertinya dia mengejarku. Sepertinya waktu juga sedang berlari. Mengejar mentari untuk segera pulang ke tempatnya.

***

Semenjak aku kejadian itu aku memblockir semua media sosial Vega. Aku ingin tenang. Di sisi lain, ketika aku mengunjungi pesantren temannya kakekku, aku berjumpa dengan Wildan.

Pantai Serang, Wildan memilih pantai ini untuk melatihku bela diri setelah sekian lama tidak berlatih. Terik matahari dipadu dengan baju hitam kami berhasil mengeluarkan keringat dalam waktu singkat. Untung tadi aku membawa air minum sendiri. Jadi, setelah berlatih tak perlu jalan ke warung membeli minuman. Aku tak lupa menunaikan tabiatku menyusuri bibir pantai. Kami melepas lelah sembari menikmati ombak.

“Kapan terakhir ke pantai ini?” Pertanyaan Wildan membuka obrolan kita. “Kalau gak salah lima tahun yang lalu…pas…” Sembariku mengingat-ingat. “…putus sama Vega.” Dia langsung menebak tanpa basa basi. Aku hanya mengangguk saja. Sembari menikmati ombak senja.

Aku tak ingin menandai tempat dan waktu dengan pilu. Biarlah piluku berlalu seiring berjalannya waktu. Aku juga tak ingin yang indah bergegas berubah tak indah lagi hanya gegara teringat masa lalu di tempat dan waktu yang pernah membuat pilu.

“Rika…kita sudah hampir setahun menempati rumah baru. Bagaimana perasaanmu?” Pertanyaan yang dilontarkan sembari menatapku.

“Aku seneng. Aku bahagia… Kang, kamu itu ustaz. Masih muda. Sering dapet undangan dari mana-mana. Tapi mengapa kamu tetap ngizinin aku asyik dengan kegiatanku, ikut kegiatan macam-macam, bahkan sampai di bolehin kuliah keluar kota. Jauh pula. Terus kalau di rumah orang tuaku, aku masak sama Ibuku, bersih-bersih sama Adek, benerin perabot rumah sama Ayah. Tapi kalau di rumah kita, aku ngapain-ngapain sama kamu. Sepertinya aku belum pernah melakukan ini itu sendirian di rumah kita… kita juga saling tukeran posisi kadang aku nyuci, kamu jemur, dan lipat. Setlikanya ke laundry. Masak…pas kita sama-sama sibuk gak cuma sekali atau dua kali kita catering.” Kupungkasi dengan senyum. Diapun membalas senyumanku.

“Rumah itu milik kita. Bukan milikmu saja atau milikku saja. Begitu pula dengan rumah tangga kita. Kata Bung Karno ‘Laki-laki dan perempuan adalah seperti dua sayap dari seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya. Jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.’ …masalah laundry, catering, maupun baby sister, kelak. Itu pemikiran Bung Karno tahun 1947, masak aku kembali ke pemikiran primitif sebelum itu. Endakkan. Lalu…jika kamu tidak aku izinkan ikut kegiatan bahkan sampai tidakku izinkan menempuh pendidikan setinggi-tingginya…mau jadi apa kamu? Mutiara dalam kotak atau dewi tolol?” Kamipun tertawa. Kemudian dia melanjutkan berkhotbah. Bukan. Ini hari senin. Ceramah tepatnya.

“Perempuan itu tonggak peradaban kalau tidak berpendidikan mau jadi apa masa depan peradaban ini. Kamu pasti juga pernah membaca jurnal-jurnal penelitian tentang penurunan kecerdasan seorang anak itu dari Ibu. Nah, tentang kamu kubolehkan keluar rumah. Ini Indonesia bukan Arab. Kalau di sana perempuan tidak boleh keluar rumah bisa jadi karena melindungi mereka dari nafsu laki-laki, di sana laki-lakinya cukup bar-bar. Jadi ingat lagi kata Bung Karno ‘Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi orang Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia. Dengan adat budaya nusantara yang kaya raya ini’ Kamu pernah membaca buku Bung Karno yang berjudul Islam Sontoloyo?” Wildan berdiri. Berbanding terbalik dengan mentari yang hendak pergi. Tangannya mengulur tepat di depanku. Aku menyambutnya.

“Belum.” Jawabku singkat. “Kapan-kapan kamu harus baca dan kita berdiskusi bersama.” Kemudia kita berdiri berhadapan.

“Kang, besok sore aku berangkat ke Yogayakarta lagi. Dosen sudah membolehkanku menulis Disertasi. Do’anya ya.”

“Pasti.” Dia mengecup keningku. “Jangan jadikan aku penghalangmu.” Lanjutnya.

 

Blitar, 15 Juli 2020

Kisah ini terinspirasi dari buku Sarinah karya Bung Karno

1 Bab Dimensi ada di Fisika kelas 10 SMA (tahun ajaran 2010)

2 Bab Relativitas ada di Fisika kelas 12 SMA (tahun ajaran 2012)

 

 

 

 

           

           

           

           

 

           

Comments

Popular posts from this blog

Semesta Tak Berhianat

                 "Hidup seperti air di sungai. Harus tetap mengalir agar menuju laut."                “Tapi, An!” Bela tidak terima. “Tidak boleh ada yang menolak. Banyak hasil penelitian yang menyimpulkan ‘semakin kita tergantung dengan ponsel pintar kita akan semakin lemah, baik kekuatan fisik, psikis, maupun pikiran kita.’ Jadi, saya tekankan semua staf yang ada di perusahaan ini tidak di perkenankan membawa ponsel pintar. Telebih peraturan ini sudah memasuki pekan ketiga dari peraturan tersebut di tetapkan. Saya minta semua mematuhi peraturan tersebut. Bila ada yang melanggar akan di kenakan sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan. Terlebih perusahaan ini sudah memberikan fasilitas kerja yang cukup memadahi. Ok, rapat hari ini cukup. Silahkan meninggalkan ruang rapat.” Tinggal Ana dan Bela yang masih tersisah di ruang rapat. Ana masih berdiri kokoh di tempatnya sedangkan Bela masih duduk di tempatnya. Kesal. Belum dapat menerima keputusan. Ana bernapas panjang, set
Rosy Nursita Anggraini , dapat dipanggil Rosy . Lahir di Blitar 24 Januari 1995. Tinggal di Dusun Cimpling RT 01/01 Desa Siraman Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar. Alumni Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi , Magister Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya tahun 2020 . Santri PP Al-Falah Siraman Kesamben Blitar. Anggota FLP Blitar dan Komunitas Muara Baca Blitar. Sebagai Penggiat Budaya tahun 2021 yang berada di bawah naungan Ditjen Kebudayaan Kemdikbudristek. Karya pernah di muat di: Riau Realita, Koran Pantura, Koran Madura, Media Jatim, Harian Bhirawa, Jawa Pos Radar, Dinamika News, Koran Jakarta, Pikiran Rakyat, dan penulis beberapa buku antologi puisi maupun cerpen bersama. Dapat di hubungi melalui fb Rosy Nursita A, IG rosy_nursita, serta nomor HP/WA /Telegram 082334724195.