"Hidup seperti air di sungai. Harus tetap mengalir agar menuju laut."
“Tapi, An!” Bela tidak terima.
“Tidak boleh ada yang menolak. Banyak
hasil penelitian yang menyimpulkan ‘semakin kita tergantung dengan ponsel
pintar kita akan semakin lemah, baik kekuatan fisik, psikis, maupun pikiran
kita.’ Jadi, saya tekankan semua staf yang ada di perusahaan ini tidak di
perkenankan membawa ponsel pintar. Telebih peraturan ini sudah memasuki pekan
ketiga dari peraturan tersebut di tetapkan. Saya minta semua mematuhi peraturan
tersebut. Bila ada yang melanggar akan di kenakan sanksi sebagaimana yang telah
ditetapkan. Terlebih perusahaan ini sudah memberikan fasilitas kerja yang cukup
memadahi. Ok, rapat hari ini cukup. Silahkan meninggalkan ruang rapat.”
Tinggal
Ana dan Bela yang masih tersisah di ruang rapat. Ana masih berdiri kokoh di
tempatnya sedangkan Bela masih duduk di tempatnya. Kesal. Belum dapat menerima
keputusan.
Ana
bernapas panjang, setelah menghembuskan napas lelahnya itu dia segera merapikan
barang-barangnya dari meja rapat. Dan bergegas melangkah pulang. Namun, masih
dapat lima langkah, Bela berdiri di depannya.
“Setidaknya kamu harus belajar bersikap
bijaksana An. Kamu calon direktur utama perusahaan ini. Perusahaan Ayahmu
sendiri. Perusahaan yang di besarkan dari jerih payah Ayahmu. Masak gara-gara…”
Ucapan Bela terpotong.
“Maaf Bel, aku sudah lelah, langit mulai
mendung, nampaknya mau hujan. Terlebih hari ini sopirku pulang kampung. Aku
duluan.” Ana melangkah meninggalkan Bela.
Bela
yang belum dapat menerima keadaan tetap tak bisa melepaskan pandangannya pada
Ana. Hingga Ana sempurna menutup pintu ruang rapat dan meninggalkannya
sendirian di sana.
***
‘Tuhan,
tunjukkan car agar puing-puing keangan yang tak pantas di kenang ini segera
hilang bukan malah lekat dan semakin erat di benak. Bukan inginku menentang
takdirMu. Tapi apalah dayaku dengan segala ketentuanMu sedangkan aku hanyalah
makhlukMu yang tak berdaya. Tuhan, sampai kapan semua ini akan sirna. Tolong
jangan menunggu kiamat. Aku sudah tak kuat. Memang aku senantiasa tersenyum
bahagia, aku ikhlas dengan semuanya. Tapi, di dasar sana ada luka yang masih
sempurna mengangga.’
Rintih
Ana di atas ranjangnya sembari memeluk buku diari. Tak ada ponsel pintar di
sebelah. Layaknya remaja yang patah hati lalu membunyikan lagu sendu dari
ponsel pintarnya. Tidak. Tidak dengan Ana. Sedang di luar sana hujan lebat
mengguyur ibu kota.
***
“Kamu
mau di antar jam berapa?”
“Ha?”
Ana terbengong.
“Ok. Kamu kuliah jam berapa? Katamu
kemarin, hari ini ada kuliah sampai malam? Biar aku antar. Aku pastikan kamu aman.”
“Lebay.”
“Serius. Ini waktu terpanjang selama kamu
kuliah.”
“Kakak…aku sudah besar, bukan anak sekolah
lagi. Lagian, walau pulang malam aku bisa kok jaga diri baik-baik. Kan dulu aku
juga pernah ikut bela diri.”
“Aku tahu kamu sedang beres-beres, bersiapan
untuk kuliah. Aku yakin kamu pasti belum mandi. Ok, aku kesana sekarang.” Tanpa
basa basi Candra memutuskan video call
dan bergegas menuju rumah Ana.
Ana
mendengus kesal. Hanya pasrah dengan tingkah Candra. Cowok yang di kenalnya 3
bulan lalu. Namun, Ana berkali-kali menyebut nama Tuhan sembari mengucap syukur
atas anugerah yang telah di berikan, di pertemukan dengan Candra. Cowok baik
dari keluarga baik-baik. Yakin yang tak dapat di campuri keraguan. Keluarga
mereka berdua juga sudah saling mengenal. Banyak harapan-harapan yang telah
mengangkasa. Harapan-harapan kedepan, untuk hidup berdampingan. Candra, dulunya
adalah kakak tingkat Ana di kampus. Kini sudah berkerja di salah satu
perusahaan konstruksi plat merah. Hanya dua bulan sekali Candra pulang kerumah,
hari-harinya di habiskan untuk tinjauan proyek. Sedangkan Ana masih kuliah,
semester 5 tepatnya. Setiap perpulangan Candra senantiasa di isi dengan Ana,
selain keluarganya sendiri. Saling akrab. Saling mengenal satu sama lain.
Sering juga Candra mengantar, menjemput, berlanjut dengan kencan setelah Ana
selesai kuliah.
Sepekan
berlalu cepat. Pekan berikutnya mereka akan kencan di udara. Hingga perpulangan
mempertemukan mereka kembali.
“…aku hanya ambil sebulan. Pas perpulangan
aku mau ke rumahmu sama keluargaku. Mereka sudah aku beri tahu. Dan mereka
setuju. Aku ingin cepat-cepat.” Lawan bicaranya hanya diam. Entah apa yang di
rasakan. “Lanjut entar ya. Bye.”
Ana
hanya bisa menelan ludah. Detak jantungnya berpacu cepat. Ini bukan remaja yang
di tembak, lalu mereka berpacaran. Tidak. Ini beda dengan itu. Tegur sapa lewat
udara kali ini beda. Terlebih dengan kalimat seperti itu. Ana sendiri masih
bingung mau bilang bagaimana pada kedua orang tuanya. Sejeank Ana mengatur
napasnya yang dari tadi terengah-engah. Berhari-hari dia merangkai kata untuk
di sampaikan pada kedua orang tuanya. Ini tidak main-main. Ini membawa nama
baik keluarga. Menentukan masa depan.
Sepekan
lagi Candra pulang.
“…sayang bila besok pagi kamu membaca
koran dan menemukan berita kapal NB 5758 yang berlayar dari Surabaya menuju NTT
dengan membawa material tenggelam, itu kapal materialku. Sial. Pembangunan
tidak selancar biasanya. Aku harus di sini hingga 2 bulan kedepan. Maafkan
aku.” Sinyal hilang. Suarapun hilang.”
Terpukul.
Iba. Kecewa. Menjadi satu. Semenjak itu Candra fokus ke pekerjaannya. Frekuensi
kencan di udara berkurang. Hingga suatu ketika terdengar kabar Candra pulang.
Tapi tak berkabar pada Ana. Aneh. Memang hanya 2 hari kata adik sulungnya.
Tapi, kenapa tidak berkabar. Ada yang di sembunyikan? Benarkah? Dan semenjak
itu kabar tak terdengar. Entah di telan bumi ataukah udara sudah tak bersahabat
lagi.
Sebulan
telah berlalu. Kabar pilu kini membuat hari-hari Ana menjadi kelabu. Bela yang
membawa kabar itu. Bahwa Candra jadian dengan cewek baru, teman sepupu
perempuan Candra, teman sekelas Bela semasa SMA. Tepat waktu perpulangan
singkat Candra dulu. Mereka berkenalan. Jadian. Dwi, pacar baru Candra tak
memberikan ruang sedikitpun untuk mengakhiri hubungannya dengan Ana. Walaupun
hanya sekadar berpamitan. Konon kata adik sulung Candra, memang seperti itu
dia. Protektif akut. Bahkan adik sulung Candra lebih suka berbagi cerita kepada
Ana dari pada Dwi. Dari situ Ana tahu bagaimana cerita sebenarnya. Hingga
pernikahan menyatukan mereka. Tepat 2 bulan setelah NB 5758 tenggelam.
***
Dua
tahun berlalu. Bodo amat dengan pilunya masa lalu. Masa depan perlu banyak
perjuangan. Setelah lulus kuliah, Ana belajar bekerja di perusahaan Ayahnya.
Tepat sebagai calon direktur utama, pengganti Ayahnya kelak. Ana memberlakukan
kebijakan aneh. Tak boleh ada ponsel pintar di kantor. Aneh memang. Terlebih di
era revolusi industri 4.0.
Pintu
kamar terketuk.
“Masuk.”
Cetus Ana dari dalam. Pintu di buka. Bela masuk kamar Ana. Pintu perlahan di
tutup. Belum sempurna di tutup.
“Ana…Bela…kesini
nak. Ada berita penting untuk kalian.” Teriak Ibuku dari ruang keluarga. Ada
teve di sana. Kami bergegas ke sana. Berita. Akibat pohon tumbang oleh angina
dan hujan lebat. Tepat di dekat kantor Ayah Ana.
“Untung
kalian pulang lebih awal.” Celetuk Ibu Ana. Bela mengamati lekat-lekat. Nampak
seorang pria dan wanita tak berdaya keluar dari mobil dengan bantuan petugas.
Mobil mereka rengsek. Tertimpa pohon besar. Darah muncrat. Lalu lintas macet.
Bela tahu betul mobil itu. Hafal betul nomor polisinya. Dua kali menoleh ke
arah Ana. Dia tegang. Ke tiga. Tampak jelas Ana menggigit bibir. Degub
jantungnya tak beraturan. Tampak sekali dari lehernya.
Blitar,
April 2020
Pernah dimuat di BM Fox pada 14 Agustus 2020
Comments
Post a Comment